![]() |
Ket: Alwinda Manao, Dosen Universitas Nias Raya |
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, pernah menulis bahwa tujuan pendidikan adalah mempertajam kecerdasan, memperkokoh kemauan, dan memperhalus perasaan. Di dalam gagasan ini, pendidikan tidak dilihat sebagai pabrik nilai, tetapi sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya - manusia yang berpikir jernih, berkemauan kuat, dan memiliki kepekaan rasa terhadap sesama.
Dalam beberapa dekade terakhir, gagasan ini mulai bergema kembali di berbagai negara melalui pendekatan pendidikan holistik. Penelitian C. van Gaalen (2022) menunjukkan bahwa pendidikan holistik berkaitan erat dengan kemampuan seseorang menemukan makna hidupnya. Siswa yang diajak berpikir reflektif, berempati, dan berkreasi tidak hanya tumbuh menjadi pribadi yang “pintar”, tetapi juga “paham mengapa mereka hidup”.
Hal senada juga disampaikan oleh Nel Noddings (2013) dalam karyanya Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education. Ia menegaskan bahwa inti pendidikan adalah relasi dan kepedulian. Bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat menumbuhkan rasa empati — ruang yang melatih anak untuk merasakan penderitaan orang lain, mengagumi keindahan, dan memahami nilai kemanusiaan.
Penelitian lain pada tahun 2023 bahkan menyoroti pentingnya kemauan dan keteguhan hati (willpower) dalam keberhasilan pendidikan jangka panjang. Namun kemauan di sini bukan sekadar soal disiplin diri, melainkan tentang keberanian untuk terus berbuat baik, bertahan dalam proses, dan berjuang bukan demi nilai - tetapi demi makna.
Sesungguhnya, nilai-nilai luhur ini telah lama hidup dalam filosofi pendidikan Indonesia. Prinsip Ki Hajar Dewantara: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani - menggambarkan pendidikan sebagai seni keteladanan, semangat, dan pemberdayaan. Sebuah proses yang menumbuhkan manusia dalam utuhnya, bukan sekadar melatih otaknya.
Namun sayangnya, wajah pendidikan kita hari ini sering terjebak dalam logika angka: ujian, skor, dan sertifikasi menjadi ukuran tunggal keberhasilan. Aspek rasa, empati, kemauan, dan pencarian makna hidup perlahan terpinggirkan. Tak sedikit generasi muda kita yang unggul secara akademik, namun rapuh secara emosional dan spiritual.
Kini, sudah waktunya kita menata ulang arah pendidikan. Pendidikan harus kembali menjadi ruang untuk menemukan jati diri, bukan sekadar mengejar nilai. Tempat di mana anak-anak belajar berpikir tajam, berkemauan kuat, dan berperasaan halus.
Sebab dari sanalah akan lahir manusia yang mampu melihat dunia dengan mata yang jernih — dan menjalaninya dengan hati yang penuh makna.
(Editor : Pidar)