Bandar Lampung - Akademisi Hukum Universitas Lampung (Unila), Dr. Budiono, SH., MH., mengingatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung untuk lebih disiplin dalam mengelola belanja pegawai. Pasalnya, alokasi belanja pegawai dalam APBD Lampung telah melampaui ketentuan maksimal 30 persen dari total belanja daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Dalam aturan tersebut, Pasal 146 ayat (1) menegaskan batas maksimal belanja pegawai sebesar 30 persen. Jika dilanggar, Pasal 148 menyebutkan sanksinya berupa penundaan dan/atau pemotongan Transfer Keuangan Daerah (TKD).
“Pemprov Lampung wajib mendukung kebijakan pemerintah pusat. Namun dalam pelaksanaannya, kebutuhan organisasi tetap harus diperhitungkan, khususnya terkait penganggaran. Saat ini belanja pegawai dalam APBD Lampung sudah melampaui 30 persen, sehingga paling lambat pada 2027 harus disesuaikan dengan ketentuan Pasal 146,” kata Budiono, Jumat (22/8/2025).
Ia menekankan perlunya langkah strategis Pemprov Lampung dalam merumuskan kebijakan, terutama terkait pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) maupun PPPK Paruh Waktu. Menurutnya, kebijakan itu harus berbasis kebutuhan organisasi dan memberi manfaat maksimal bagi masyarakat.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unila, Dr. Saring Suhendro, S.E., M.Si., Akt., CA., mengingatkan agar Pemprov Lampung berhati-hati dalam mengelola anggaran pegawai. Menurutnya, aturan batas 30 persen bukan hanya persoalan administratif, melainkan instrumen disiplin fiskal untuk menjaga keberlanjutan keuangan daerah (fiscal sustainability).
“Proses pengangkatan PPPK sudah berjalan hingga tahap I dan II. Artinya, Pemprov Lampung telah menyiapkan anggaran dalam APBD 2025. Namun sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dalam PP Nomor 71 Tahun 2010, pengelolaan fiskal harus tetap terkendali agar tidak menekan belanja pembangunan. Jika belanja pegawai terlalu dominan, maka opportunity cost-nya adalah berkurangnya belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang lebih dibutuhkan masyarakat,” ujar Saring.
Ia menambahkan, bila Pemprov hendak mengangkat PPPK Paruh Waktu, harus ada skala prioritas berbasis kebutuhan publik. Sektor pendidikan, terutama tenaga guru, dinilai penting karena memberi efek berganda terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia di tengah keterbatasan fiskal daerah.
Lebih lanjut, Saring menegaskan bahwa sesuai kebijakan pemerintah pusat, tidak ada lagi tenaga kerja di luar Aparatur Sipil Negara (ASN). Karena itu, seluruh tenaga honorer harus diakomodasi melalui mekanisme PPPK maupun PPPK Paruh Waktu. “Hal ini memerlukan reformasi manajemen SDM aparatur agar selaras dengan prinsip efisiensi fiskal,” pungkasnya. **