Kabupaten Tangerang - Kembali menjadi sorotan nasional setelah pelaksanaan rotasi dan mutasi pejabat struktural yang diduga sarat kepentingan keluarga dan politik. Sebanyak 387 pejabat eselon II dan III dilantik pada pertengahan Juli 2025, namun di balik seremoni tersebut, publik menemukan pola sistemik yang mencerminkan praktik nepotisme birokrasi yang mencederai prinsip profesionalisme dan meritokrasi dalam tata kelola kepegawaian aparatur sipil negara (ASN).
Salah satu sorotan tajam tertuju pada Achmad Dadang Suhendar, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Pelayanan di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Ia dilantik menjadi Kepala Bidang Pendataan, Penilaian, dan Penetapan Pajak pada instansi yang sama. Dadang diketahui merupakan paman dari Eva Marlina, yang juga turut dilantik dari jabatan sebelumnya sebagai Kepala Subbidang Penagihan dan Penindakan menjadi Kepala UPTD Pajak Daerah Wilayah II. Keduanya berasal dari satuan kerja yang sama dan menangani sektor pendapatan daerah, sehingga menimbulkan kekhawatiran atas potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan pajak dan retribusi.
Praktik semacam ini dianggap menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku. Dalam PermenPAN-RB No. 17 Tahun 2024, Pasal 6 huruf b menegaskan bahwa konflik kepentingan mencakup relasi kekerabatan dalam penempatan jabatan. Pasal 8 dengan tegas melarang pengangkatan kerabat dalam jabatan saling terkait karena bertentangan dengan prinsip merit, sementara Pasal 24 bahkan mewajibkan atasan langsung untuk menolak usulan pengangkatan yang berpotensi menimbulkan konflik tersebut. Lebih jauh, UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN memperkuat aturan ini. Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa ASN harus dikelola berdasarkan sistem merit, yakni pengangkatan dan mutasi berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan prestasi. Pasal 9 mewajibkan ASN untuk netral, tidak dipengaruhi kepentingan politik maupun nepotisme. Selain itu, PP No. 11 Tahun 2017 jo. PP No. 17 Tahun 2020, dalam Pasal 66 ayat (3), dengan jelas menyatakan bahwa mutasi tidak boleh menimbulkan konflik kepentingan.
Kritik keras datang dari praktisi hukum dan aktivis integritas tata kelola pemerintahan, Medi Yansah, S.H., M.H., yang menyatakan bahwa penempatan paman dan keponakan dalam satu rantai struktural urusan keuangan daerah adalah bentuk penyimpangan yang terang benderang. Menurutnya, walaupun hubungan itu tidak langsung dengan kepala daerah, praktik ini tetap melanggar etika birokrasi, mengikis profesionalisme, dan menimbulkan kecemburuan struktural di kalangan ASN.
“Mutasi ASN seharusnya menjadi alat meritokrasi, bukan sarana pewarisan jabatan kepada keluarga,” tegasnya. Ia juga mendesak agar Kemendagri, KASN, dan Ombudsman RI segera turun tangan untuk mengevaluasi dan membatalkan penempatan yang bermasalah ini, karena jika dibiarkan, akan menjadi preseden buruk dalam birokrasi daerah.
Meski proses pelantikan telah dilaksanakan, masyarakat menilai bahwa belum dilakukannya serah terima jabatan seharusnya membuka ruang untuk tindakan korektif. Dalam kondisi seperti ini, Kemendagri sebagai pihak yang memberikan persetujuan akhir terhadap mutasi dalam enam bulan pasca-pelantikan kepala daerah, berdasarkan Pasal 162 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016, memiliki kewenangan penuh untuk membatalkan pengangkatan tersebut. Pembiaran atas praktik nepotisme administratif di Bapenda Kabupaten Tangerang ini justru akan menciptakan budaya permisif dan mempercepat kerusakan moral birokrasi daerah. Karena itu, desakan publik yang terus mengalir, termasuk melalui media sosial dan kanal pengaduan resmi, harus dijadikan peringatan serius.
Medi Yansah mendorong agar Komisi ASN (KASN), Inspektorat Daerah, dan Ombudsman RI segera memeriksa kebijakan mutasi tersebut, terutama jika terdapat indikasi pelanggaran prosedur dan nilai dasar ASN.
“ASN yang kompeten seharusnya diberikan ruang untuk berkembang, bukan dikalahkan oleh hubungan kekerabatan. Mutasi bukan tempat mewariskan jabatan kepada keluarga,” tegasnya.
Jika prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) ingin ditegakkan, maka pengangkatan ASN yang sarat konflik kepentingan harus dihentikan. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, tidak bisa berdiam diri di tengah gejolak ini. Demi menciptakan birokrasi yang bersih, profesional, dan bebas dari praktik penyimpangan kekuasaan, penempatan Eva Marlina dan Achmad Dadang Suhendar harus ditinjau ulang dan dibatalkan. Negara hukum tidak boleh tunduk pada hubungan darah atau loyalitas keluarga dalam struktur ASN. Sebab jika hal ini dibiarkan, maka birokrasi akan berubah menjadi “kerajaan kecil” yang diwariskan secara turun-temurun—bertentangan dengan amanat reformasi dan prinsip keadilan sosial.
( Jhon/Tim )