Empat Lawang - Mantan Pejabat Sementara (Pj) Kepala Desa Air Kelinsar diduga terlibat praktik pungutan liar (pungli) terhadap sejumlah penerima Bantuan Sosial Kesejahteraan Rakyat (Bansos Kesra). Dugaan tersebut mencuat setelah beberapa warga Desa Air Kelinsar, Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, melaporkan kejadian itu kepada awak media.
Berdasarkan keterangan warga, praktik pungli tersebut diduga terjadi saat pencairan Bansos Kesra di Kantor Pos Kecamatan Ulu Musi pada Rabu, 17 Desember 2025. Warga yang identitasnya dirahasiakan menyebutkan, setidaknya lima orang penerima bantuan mengalami pemotongan dana secara tidak sah.
Dalam pencairan tersebut, setiap penerima seharusnya menerima bantuan sebesar Rp900.000 (sembilan ratus ribu rupiah). Setelah menerima dana dan difoto sebagai bukti pencairan, para penerima bantuan kemudian diajak oleh dua orang terduga berinisial AR dan YN ke lokasi lain.
Di tempat tersebut, para penerima bantuan diminta menyerahkan uang sebesar Rp400.000 (empat ratus ribu rupiah). Alasan yang disampaikan, uang tersebut digunakan sebagai biaya pengurusan bantuan ke Tebing Tinggi sebesar Rp200.000 dan sisanya Rp200.000 dibagi untuk AR dan YN, masing-masing Rp100.000 per orang.
Lebih lanjut, warga mengaku mendapat tekanan. Jika tidak menyerahkan uang tersebut, bantuan mereka disebut-sebut tidak akan diurus dan ke depan tidak akan bisa dicairkan lagi. Kondisi ini membuat para penerima bantuan terpaksa menuruti permintaan tersebut.
Menindaklanjuti informasi itu, awak media melakukan investigasi dan berupaya mengonfirmasi langsung kepada pihak-pihak yang diduga terlibat. Saat ditemui, terduga AR mengakui adanya permintaan uang kepada penerima bansos. Ia menyebutkan, terdapat sekitar delapan orang yang dimintai uang dengan alasan biaya ojek.
Namun ketika ditanya mengapa biaya ojek bisa mencapai Rp400.000, AR berdalih bahwa tidak semua penerima dimintai jumlah yang sama, sebagian hanya diminta Rp200.000. Pernyataan tersebut semakin menguatkan dugaan adanya pungutan liar dalam proses pencairan bantuan sosial.
Terlepas dari alasan apa pun yang disampaikan, praktik pemotongan dana bantuan sosial jelas melanggar hukum. Pemerintah melalui Kementerian Sosial secara tegas melarang pemotongan dana bansos dengan alasan apa pun, baik untuk biaya administrasi, uang lelah, maupun biaya pengurusan di lapangan. Bantuan sosial merupakan hak mutlak Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Sesuai ketentuan hukum yang berlaku, pungli bansos dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Pelaku dapat dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara 15 hingga 20 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar.
Selain itu, pelaku juga dapat dikenakan Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang pemerasan dengan ancaman pidana penjara maksimal sembilan tahun. Bagi petugas atau pendamping sosial, sanksi administratif berat berupa pemberhentian tidak hormat juga dapat dijatuhkan.
Kasus ini diharapkan segera mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum agar hak masyarakat kecil sebagai penerima bantuan sosial benar-benar terlindungi dan praktik pungli dapat diberantas hingga ke akar-akarnya.
(Tarmizi)







